PENGANTAR PEMOLISIAN MASYARAKAT
1.
Pengantar.
Model Polmas "Perpolisian Masyarakat",
merupakan bentuk perpolisian yang dikembangkan banyak negara dan merupakan satu
model perpolisian yang sangat penting di Asia. Tidak seperti model Militeristik
yang umumnya banyak di negara berkembang, Polmas memiliki potensi untuk menjadi
modek perpolisian yang akan diikuti kebanyak negara demokratis pada abad ke-21.
Model Polmas berkembang karena organisasi kepolisian di
sana menyadari bahwa sebagaian besar upaya mereka untuk "memberantas
kejahatan" tidaklah efektif. Merekapun mengadakan penelitihan untuk
mengetahui efektifitas kegiatan yang terdapat dalam model perpolisian tradisional
seperti patroli preventif, reaksi cepat terhadap peristiwa-peristiwa kejahatan,
dan kegiatan investigasi kejahatan.
Untuk dapat terlaksananya
Strategi Polmas tersebut dengan baik, maka setiap anggota Polri harus memahami sesuai dengan
Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Di dalam naskah ini berisi konsep polmas, pola
penerapan polmas, operasionalisasi polmas, pelaksana/ pengemban polmas,
evaluasi keberhasilan polmas dan pengembangan strategi polmas.
Standar Kompetensi.
-Memahami konsepsi Polmas
-Memahami cara membangun
Kemitraan dengan masyarakat dan memecahkan masalah yang ada dilingkungan masyarakat dalam
rangka menciptakan Kamtibmas.
BAB I
PENGANTAR POLMAS
Kompetensi dasar
Memahami Polmas.
Indikator hasil belajar
Setelah menyelesaikan Bab I, diharapkan siswa mampu :
1. Menjelaskan tentang Konsepsi Polmas.
2. Menjelaskan tujuan Polmas
3. Menjelaskan
tentang kesalahpahaman
Polmas.
4. Menjelaskan prinsip-prinsip dakam penyelenggaraan
pengemban.
A. KONSEPSI POLMAS
1. Pengertian-pengertian.
Di dalam mempelajari Polmas, ada
beberapa istilah yang perlu dipahami agar dapat melaksanakan tugas Polmas
dengan sebaik-baiknya, yaitu diantaranya :
a.Perpolisian
(policing).
Perpolisian
(policing) yaitu segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi Kepolisian ,
tidak hanya menyangkut operasionalisasi (taktik / tehnik) fungsi kepolisian
tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran
menegemen puncak sampai dengan managemen lapis bawah, termasuk
pemikiran-pemikiran filsafati yang melatar belakanginya.
b.Pemolisian
(policing).
Pemolisian (policing), yaitu
pemberdayaan segenap komponen dan segala sumber daya yang dapat dilibatkan
dalam pelaksanaan tugas atau fungsi kepolisian guna mendukung penyelenggaraan
fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal.
c. Masyarakat
(Community) diartikan sbb :
Sekelompok warga (laki-laki dan perempuan) atau komunitas
yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya (geografis community). Batas wilayah komunitas
dapat berbentuk RT,RW, desa, Kelurahan, ataupun berupa pasar/pusat belanja/mal,
kawasan industri, pusat/ komplek olehraga, stasiun bus/kerta api, dan
lain-lainnya.
Warga masyarakat
yang membentuk suatu kelompok atau merasa menjadi bagian dari suatu kelompok
berdasarkan kepentingan (communitu of interst), contohnya kelompok
berdasarkan etnis/suku, agama, profesi, pekerjaan, keahlian, hobi, dll.
Polmas diterapkan
dalam komunitas-komunitas atau kelompok masyarakat yang didalam suatu lokasi
tertentu atau lingkungan komunitas berkesamaan profesi (misalnya kesamaan
kerja, keahlian, hobi, kepentingan dls), sehingga warga masyarakatnya tidak
harus tinggal di suatru tempat yang sama, tetapi dapat saja tempatnya berjauhan
sepanjang komunikasi antara warga satu sama lain berlangsung secara intensif
atau adanya kesamaan kepentingan (misalnya, kelompok ojek, hobi burung
perkutut, pembalap motor, hobi komputer dsb) yang semuanya bisa menjadi sarana
penyelenggaraan Polmas.
d. Polmas (Pemolisian / Perpolisian
Masyarakat).
Polmas adalah penyelenggaraan
tugas kepolisian yang mendasari pada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi
aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subyek dan
masyarakat sebagai obyek, melainkan harus dilakukan bersama oleh polisi dan
melalui kemitraan polisi dan warga masyarakat , sehingga secara bersama-sama
mampu mendeteksi gejala yang dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat,
mampu mendapatkan solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu
memelihara keamanan serta ketertiban di lingkungannya.
e. Strategi Polmas.
Strategi Polmas adalah
implementasi pemolisian proaktif yang menekankan kemitraan sejajar antara
polisi dan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penangkalan kejahatan,
pemecahan masalah sosial yang berpotensi menimbulkan gangguan Kamtibmas dalam
rangka meningkatkan kepatuhan hukum dan kualitas hidup masyarakat.
f. Falsafah Polmas.
Falsafat Polmas: sebagai
falsafah, Polmas mengandung makna suatu model pemolisian yang menekankan
hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusiaan dalam kesetaraan,
menampilkan sikap prilaku yang santun serta salaing menghargai antara polisi
dan warga sehingga menimbulkan rasa saling percaya dan kebersamaan dalam rangka
menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian
dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
g. Masalah.
Masalah adalah suatu kondisi
yang menjadi perhatian warga masyarakat karena dapat merugikan, mengancam,
menggemparkan, menyebabkan ketakutan atau berpotensi menyebabkan terjadinya
gangguan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat (khususnya kejadian yang
tampaknya terpisah tetapi mempunyai kesamaan-kesamaan tentang pola, waktu,
korban dan/atau lokasi geografis).
h. Pemecahan Masalah.
Pemecahan Masalah adalah
proses pendekatan permasalahan kamtibmas dan kejahatan untuk mencari pemecahan suatu
permasalah melalui upaya memahami masalah, analisa masalah, mengusulkan
alternatif-alternatif solusi yang tepat dalam rangka menciptakan rasa aman,
tentram dan ketertiban (tidak hanya berdasarkan pada hukum pidana
danpenangkapan), melakukan evaluasi serta evaluasi ulang terhadap efektifitas
solusi yang dipilih.
i. Forum Kemitraan Polisi dan
Masyarakat (FKPM).
FKPM adalah wahana komunikasi
antara polisi dan warga yang dilaksanakan atas dasar kesepakatan bersama dalam
rangka pembahasan masalah Kamtibmas dan masalah-masalah sosial yang perlu
dipecahkan bersama oleh masyarakat dan petugas Polri dam rangka menciptakan
kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat.
J. Balai Kemitraan Polisi dan
Masyarakat (BKPM).
BKPM adalah tempat berupa
bangunan / balai yang digunakan untuk kegiatan polisi dan warga dalam membangun
kemitraan. Balai ini dapat dibangun bafru atau mengoptimalkan bangunan Polisi
yang sudah ada seperti Polsek dan Pospol atau fasilitas umum lainnya.
2. Latar Belakang Polmas.
a.
Sebelum konsep Community Policing diluncurkan terutama
di negara-negara maju, penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian baik dalam
pemeliharaan keamanan dan ketertiban maupun penegakan hukum, dilakukan secara
konvensional. Polisi cenderung melihat dirinya semata-mata sebagai pemegang
otoritas dan institusi kepolisian dipandang semata-mata sebagai alat negara
sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai pelaksanaan
tugas dan wewenang kepolisian. Walaupun prinsip-prinsip “melayani dan
melindungi” (to serve and to protect)
ditekankan, pendekatan-pendekatan yang birokratis, sentralistik, serba
sama/seragam mewarnai penyajian layanan kepolisian. Gaya perpolisian tersebut
mendorong polisi untuk mendahulukan mandat dari pemerintah pusat dan
mengabaikan ‘persetujuan’ masyarakat lokal yang dilayani. Selain itu polisi
cenderung menumbuhkan sikap yang menampilkan dirinya sebagai sosok yang formal,
dan ekslusif dari anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya semua itu berakibat
pada memudarnya legitimasi kepolisian di mata publik pada satu sisi, serta
semakin berkurangnya dukungan publik bagi pelaksanaan tugas kepolisian maupun
buruknya citra polisi pada sisi lain.
b.
Kondisi seperti diutarakan
pada huruf a, juga terjadi di Indonesia, lebih-lebih ketika Polri dijadikan
sebagai bagian integral ABRI dan polisi merupakan prajurit ABRI yang dalam
pelaksanaan tugasnya diwarnai sikap dan tindakan yang kaku bahkan militeristik
yang tidak proporsional. Perpolisian semacam itu juga ditandai antara lain oleh
pelaksanaan tugas kepolisian, utamanya penegakan hukum, yang bersifat otoriter,
kaku, keras dan kurang peka terhadap kebutuhan rasa aman masyarakat. Di sisi lain pelaksanaan tugas kepolisian sehari-hari, lebih mengedepankan
penegakan hukum utamanya untuk menanggulangi tindak kriminal. Berdasarkan TAP
MPR Nomor
II/MPR/1993 tentang Garis Besar Haluan Negara yang berkaitan dengan Sistem Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Swakarsa, Polri dibebani
tugas melakukan pembinaan Kamtibmas yang diperankan oleh Babinkamtibmas sebagai
ujung tombak terdepan. Pendekatan demikian memposisikan masyarakat seakan-akan
hanya sebagai obyek dan polisi sebagai subjek yang “serba lebih” sehingga
dianggap figur yang mampu menangani dan menyelesaikan segenap permasalahan
Kamtibmas yang dihadapi masyarakat.
c.
Sejalan dengan pergeseran
peradaban umat manusia, secara universal terutama di negara-negara maju,
masyarakat cenderung semakin ‘jenuh’ dengan cara-cara lembaga pemerintah yang
birokratis, resmi, formal/kaku, general/seragam dan lain-lain dalam menyajikan
layanan publik. Terdapat kecenderungan bahwa masyarakat lebih
menginginkan pendekatan-pendekatan yang personal dan menekankan pemecahan
masalah dari pada sekedar terpaku pada formalitas hukum yang kaku. Dalam bidang
penegakan hukum terutama yang menyangkut pertikaian antar warga, penyelesaian
dengan mekanisme informal dipandang lebih efektif dari pada proses sistem
peradilan pidana formal yang acapkali kurang memberikan peranan yang berarti
bagi korban dalam pengambilan keputusan pemecahan masalah yang dideritanya.
d.
Kondisi sebagaimana
diutarakan di atas mendorong diluncurkannya program-program baru dalam
penyelenggaraan tugas kepolisian terutama yang disebut Community Policing. Lambat laun, Community Policing tidak lagi hanya
merupakan suatu program dan/atau strategi melainkan suatu falsafah yang
menggeser paradigma konvensional menjadi suatu model perpolisian baru dalam
masyarakat madani. Model ini pada hakekatnya menempatkan masyarakat bukan
semata-mata sebagai obyek tetapi mitra kepolisian dan pemecahan masalah
(pelanggaran hukum) lebih merupakan kepentingan dari pada sekedar proses
penanganan yang formal/prosedural.
e.
Dalam kehidupan
bermasyarakat bangsa Indonesia nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Community Policing pada hakekatnya bukan
merupakan hal yang asing. Kebijakan Siskamswakarsa
diangkat dari nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia, yang lebih
menjunjung nilai-nilai sosial dari pada individu. Pelaksanaan pengamanan
lingkungan secara swakarsa pernah/masih efektif berjalan. Pada bagian-bagian
wilayah/etnik tertentu nilai-nilai kultural masih efektif (bisa diefektifkan)
dalam pemecahan masalah sosial pada tingkat lokal. Nilai saling memaafkan
dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia yang religius. Pada zaman dahulu
dikenal adanya “Hakim Perdamaian” desa. Kondisi itu semua merupakan modal awal
yang dapat berperan sebagai faktor pendukung yang efektif dalam pengembangan Community Policing “ala” Indonesia, jika
dikelola secara tepat sesuai ke-kini-an dan sejalan dengan upaya membangun
masyarakat madani khususnya kepolisian “sipil” yang menekankan pada pendekatan
kemanusiaan khususnya perlindungan hak-Hak Asasi Manusia dalam pelaksanaan
tugas kepolisian
f.
Sejak tahun 1970-an di Indonesia tugas-tuga kepolisian
ditetapkan represif, preventif, dan pre-emtif. Tugas-tugas preemtif dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan fungsi Pembinaan Masyarakat (BINMAS) atau Bimbingan
Masyarakat (BIMMAS). Unit Bimmas ada di berbagai tingkat organisasi Polri sbb :
Asisten Bimmas/Direktur Bimmas/Karo Bimmas pada Mabes Polri ; Asisten
Bimmas/Kadit Bimmas/Karo Binamitra pada tingkat Polda ; Sat Bimmas/Kabag Binamitra
pada tingkat Polres ; dan Kanit Bimmas pada Polsek dibantu oleh para Bintara
Pembina Kamtibmas (BABINKAMTIBMAS) yang berada pada organisasi Polri terakhir
unit Bimmas Polsek telah dihapuskan dengan pertimbangan tertentu.
Tugas Pokok Babinkamtibmas di tingkat desa/Kelurahan sebagaimana diatur
dalam Buku Petunjuk Lapangan No. Pol BUJUKLAP/17/VII/1997. yang ditanda tangani
Kapolri tanggal 18 Juli 1997 adalah :
a. Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi
yang menguntungkan upayapenertiban dan penegakan hukum, upaya
perlindungan dan pelayanan masyarakat di Desa/Kelurahan.
b. Sesuai dengan rumusan tugas pokoknya maka lingkup tugas
Babinkamtibmas meliputi :
1) Membina kesadaran
hukum masyarakat Desa/Kelurahan
tentang :
· Kedudukan, tugas wewenang, fungsi dan peranan polri.
· Sangsi-sangsi pidana dan proses pemidanaan.
· Hak dan kewajiban warga masyarakat dalam penegakan hukum.
2) Membina kesadaran Kamtibmas Desa/kelurahan tentang :
·
Masalah-masalah Kamtibmas.
·
Sebab-sebab timbulnya gangguan Kamtibmas.
·
Cara-cara penanggulangannya.
·
Cara-cara penyelenggaraan siskamling pemukiman.
3) Membina partisipasi masyarakat dalam rangka pembinaan
Kamtibmas secara Swakarsa di Desa/Kelurahan.
4)
Sebagai polisi di tengah-tengah masyarakat Babinkamtibmas
juga melakukan tugas-tugas kepolisian umum dalam hal-hal tertentu sesuai dengan
sikon setempat yaitu :
·
Mengumpulkan bahan keterangan.
·
Mengamankan kegiatan-kegiatan masyarakat.
·
Menerima laporan pengaduan masyarakat.
·
Memberi bantuan pengawalan, pencarian dan pertolongan
kepada masyarakat.
·
Membina tertib lalu lintas.
·
Penanganan tingkat pertama kejahatan, pelanggaran atau
kecelakaan di TKP.
·Melaksanakan tugas-tugas dibidang pembangunan atau
kegiatan kemasyarakat berdasarkan permintaan instansi yang berwenang dan
masyarakat setempat.
Buku petunjuk tersebut sudah ada sejak Kapolri-Kapolri
sebelumnya namun dalam praktek harus diakui bahwa realisasi di lapangan masih
sangat jauh dari petunjuk yang terdapat dalam buku petunjuk tersebut.Setelah reformasi dimana
kedudukan polri dipisahkan dari TNI/ABRImaka reformasipolri bergulir dengan
cepat. Dengan bantuan berbagai negara donor dan lembaga-lembaga internasional
maka Perpolisian Masyarakat yang merupakan terjemahan dari Community Policing
nulai diterapkan di Indonesia.
Harus diakui bahwa dalam
proses lahirnya Polmas dilingkungan polri adalah menyempurnakan konsep,
kebijakan, dan praktek pembinaan mayarakat terutama yang dilakukan oleh para
Babinkamtibmas, yang telah berlangsung lama dilingkungan Polri. Harus
diakui bahwa praktek masyarakat sebagai mitra sejajar polri dalam memecahkan
masalah merupakan hal yang baru bagi polri dan termasuk diAmirika.
Setelah melaluio proses
uji coba , dan pembentukan model yang dimotori oleh berbagai donor seperti :
IOM, JIKA/Jepang, Asian Fopndatian, Pardnership dan UNHCR pada tanggal 13
Oktober 2005 dengan keputusan Kapolri No. Pol.: Skrp/737/X/2005 secara resmi
Perpolisian Masyarakat menjadi kebijakan yang harus diterapkan oleh seluruh
jajaran Polri.
3. Kesalah pahaman mengenai Polmas.
Perlu digaris bawahi bahwa Polmas
bukanlah :
-
Suatu bagian atau divisi yang
terpisah dalam institusi Kepolisian, dan juga bukan merupakan tanggung jawab
seorang anggota polisi (Polki / Polwan) saja.
- Polmas bukanlah sebuah tehnik.
-
Polmas bukanlah
Humas atau sebuah
program yang dirancang khusus
untuk memperbaiki citra polisi.
- Polmas
tidak bersifat "lunak" terhadap kejahatan.
- Polmas bukan merupakan
"pelayanan sosial", tetapi merupakan "pekerjaan polisi"
yang sesungguhnya.
- Polmas bukan suatu obat
mujarab.
4.
Perbedaan Polmas dengan perpolisian lain.
Tak kenal maka tak sayang,
demikian pepatah kuno. Oleh karena itu pengenalan dan pemahaman konsep Polmas
perlu dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan membandingkan
Polmas dengan model perpolisian tradisional.
Model Perpolisian
"Tradisional"
Model perpolisian tradisional
berupaya mengendalikan terjadinya kejahatan melalui penegakan hukum yang
reaktif dan peningkatan patroli serta penggunaan
tehnologi tinggi.Fokus dari model perpolisian
"tradisional" adalah melakukan patroli preventif, memberikan
reaksi/respons yang cepat terhadap kejadian kejahatan dan menindak lanjutinya
dengan invenstigasi kejahatan.
Seperti tersirat dilapangan,
model ini tidak melibatkan hubungan dengan masyarakat Sayangnya, hal-hal ini
menghasilkan jarak antara polisi dan masyarakat. Konsep tradisional inimemunculkan
citra bahwa polisi tidak menganggap penting keikut sertaan masyarakat sebagai
mitra utama dalam perpolisian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
adanya jarak antara polisi dan masyarakat adalah :
· Pergerakan ke arah profesional.
·
Mutasi yang teratur untuk menghapuskan korupsi.
·
Kontrol terpusat.
·
Pengembangan tehnologi, seperti komputer,radio, telephon,
dan lain-lain.
·
Patroli yang dilakukan secara acak (random) dan
lain-lain.
Pada kontek ini pendekatan Polmas
berbeda dengan pendekatan model perpolisian tradisional. Polmas berupaya mengendalikan kejahatan
melalui pencegahan secara proaktif melalui hubungan kemitraan yang sudah
terjalin dengan masyarakat. Tidak lagi hanya tergantung pada tehnologi
mutakhir, mesin-mesin dan penguasaan ilmu pengetahuan, konsep polmas mewujudkan
network atau jaringan manusia merupakan sumber utama untuk mengontrol
kejahatan.
Tentu saja ada persyaratan ada
persyaratan utama dalam penerapan polmas. Perpolisian tradisonal mempunyai
sejarah panjang dengan model militeristik.
Sedangkan Polmas menuntut keterlibatan penuh masyarakat, mengingat
adanya fokus yang berlawanan antara perpolisian yang tradisional dan Polmas ,
maka perubahan budaya dan strategi harus dilakukan apabila Polmas diterapkan
sebagai strategi baru di dalam organisasi kepolisian.
Perubahan budaya kepolisian ini
mencakup perubahan sikap, nilai-nilai dan norma-norma. Kontek perubahan dalam
strategi berarti merumuskan kembali antara hubungan polisi dan masyarakat yang
dilayani. Bentuk pelayanan yang diterima masyarakat dan cara polisi
menyampaikan pelayanan adalah fokus perubahan.
Perpolisian Tradisional
|
Polmas
|
·
Bersifat reaktif terhadap kejadian
|
·
Proaktif utk menyelesaikan masalah masyarakat
|
· Terbatas atas respos
thp kejadian yg diterima saja.
|
·
Diperluas shg meliputi identifikasi dan penyelesaian
masalah masyarakat.
|
· Patroli acak bermobil
utk merespon kejahatan.
|
·
Patroli yg terlihat dan berinteraksi dengan masyarakat
|
· Terfokus pd sumber daya
internal
|
·
Kekuatan di sumber daya yg ada di masyarakat.
|
· Informasi dr masyarakat
terbatas.
|
·
Informasi dari masyarakat datang dari berbagai sumber.
|
· Orientai melakukan
supervisi adalah utkmengawasi
|
·
Desentralisasi kewenangan dan otonomi ke petugas lini
depan.
|
· Penghargaan berdasarkan
pemecahan kasus
|
·
Penghargaan evaluasi kinerja yg juga didasarkan pada
kegiatan memberikan pelayanan.
|
· Strategi memberantas
kejahatan secara hukum
|
·
Gaya pelayanan berorientasi pd masyarakat.
|
Model Perpolisian
"Militeristik"
Model perpolisianmiliteristik
telah dianut Indonesia beberapa dekade, telah tercipta jarak yang besar antara
polisi dan masyarakat. Model perpolisian "militer" ini merupakan
model perpolisian yang ada dalam pikiran polisi dan para pemimpin saat itu,
karena model itu telah mewakili pengalaman perpolisian mereka yang utama.
Militer adalah organisasi yang
melindungi negara dengan cara berperang menggunakan senjata , dan kekuatan yang
mematika. Pelatihan anggota militer difokuskan pada hal yang berkaitan dengan
peperangan , penggunaan senjata , dan strategi militer untuk melawan musuh
dengan kekuatan untuk mematikan. "Membunuh musuh" adalah suatu norma
yang dapat diterima dalam peperangan. Tentu saja, pensdekatan militer ini
sangat berbeda dengan prinsip polisi yang melayani dan mengayomi masyarakat.Fokus daru "budaya" dan
strategi militer bukan pada melayani masyarakat dengan cara menciptakan
kemitraan, menyelesaikan masalah, menghormati hak asasi manusia pada warga
negara, membatasi pengguinaan kekuatan, mencegah kejahatan dan menjamin hidup
yang lebih baikbagi anggota masyarakat. Hal-hal tersebut adalah serangkaian
strategi penting dari polri yang melayani dan melindungi masyarakat dari warga
masyarakat, dan strategi tersebut adalah "Model Polmas".
5. Polmas sebagai Filsafah.
Yang dimaksud polmas sebagai falsafat
adalah :
a. Polmas mendasarai pemahaman bahwa masyarakat buka
merupakan obyek pembinaan dari petugas yang berberan sebagai subyek
penyelenggaraan keamanan, melainkan masyarakat harus sebagai subyek dan mitra
yang aktif dalam memelihara keamanan dan ketertiban di lingkungannya sesuai
dengan hukum dan hak asasi manusia.
b. Polmas mendasari pemahaman bahwa penyelenggaraan keamanan
tidak akan berhasil bila hanya ditumpukan kepada keaktifan petugas polisi
semata, melainkan harus lebih ditumpukan kepada kemitraan petugas dengan warga
masyarakat yang bersama-sama aktif mengatasi permasalahan di lingkungannya.
c. Polmas menghendaki agar petugas polisi di tengah
masyarakat tidak berpenampilan sebagai alat hukum atau pelaksana undang-undang
yang hanya menekankan penindakan hukum atau mencari kesalahan warga, melainkan
lebih menitik beratkan kepada upaya membangun kepercayaan masyarakat terhadap
Polri melalui kemitraan yang didasari oleh prinsip demokrasi dan hak asasi
manusia, agar warga masyarakat tergugah kesadaran dan kepatuhan hukumnya. Oleh
karenanya, fungsi keteladanan petugas Polri menjadi sangat penting.
d. Sebagai syarat agar dapat membangkitkan dan mengembangkan
kesadaran warga masyarakat untuk bermitra dengan polisi , maka setiap petugas
polisi harus senantiasa bersikap dan berprilaku sebagai mitra masyarakat yang
lebih menonjolkan pelayanan, menghargai kesetaraan antara polisi dan warga
masyarakat serta senantiasa memfasilitasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
rangka mengamankan lingkungannya.
e. Upaya membangun kepercayaan masyarakat terhadap polisi
harus menjadi perioritas dalam pendekatan tugas kepolisian dilapangan karena
timbulnya kepercayaan masyarakat (trust) terhadap polri merupakan kunci
pokok keberhasilan Polmas. Kepercayaan ini dibangun melalui komunikasi dua arah
yang intensif antara polisi dan warga masyarakat dalam pola kemitraan yang
sama.
f. Penerapan Polmas pada dasarnya sejalan dengan nilai-nilai
dasar budaya bangsa Indonesia yang terkandung dalam konsep Siskamtibmas
Swakarsa, sehingga penerapannya tidak harus melalui penciptaan konsep yang baru
melainkan lebih mengutamakan pengembangan sistem yang sudah ada yang
disesuaikan dengan kekinian penyelenggaraan fungsi kepolisian modern dalam
masyarakat sipil di era demokrasi.
g. Untuk menjamin terpeliharanya rasa aman, tertib dan
tentram dalam masyarakat, polisi dan warga masyarakat menggalang kemitraan
untuk memelihara dan menumbuhkembangkan pengelolaan keamanan dan ketertiban
lingkungan. Kemitraan ini dilandasi norma-norma sosial da /atau
kesepakatan-kesepakan lokal dengan tetap mengindahkan peraturan-peraturan hukum
nasional yang berlaku dan menjunjung tinggi prinsip-prinsiphak asasi manusia
dan kebebasan individu yang bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat yang
demokrasi.
6. Polmas sebagai Strategi.
Tujuan strategi Polmas adalah
terwujudnya kemitraan polri dengan warga masyarakat yang mampu mengidentifikasi
akar permasalahn, menganalisa, menetapkan prioritas tindakan, mengevaluasi
efektifitas tindakandalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketentraman
masyarakat serta peningkatan kwalitas hidup masyarakat.
Adapun sasaran strategi Polmas meliputi :
a. tumbuhnya kesadaran dan kepedulian masyarakat / komunitas
terhadap potensi gangguan keamanan, ketertiban dan ketentraman di
lingkungannya.
b. Meningkatkan kemampuan masyarakat bersama dengan polisi
untuk mengidentifikasi akar permasalahan yang terjadi di lingkungannya,
melakukan analisa dan memecahkan masalahnya.
c. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk mengatasi
permasalahan yang ada bersama-sama dengan polisi dan dengan cara yang tidak
melanggar hukum.
d. Meningkatnya kesadaran hukum masyarakat.
e. Meningkatnya parmas dalam menciptakan kamtibmas di
lingkungannya masing-masing.
f. Menurunnya peristiwa yang mengganggu keamanan, ketertiban
dan ketentraman masyarakat/komunitas.
Metode Polmas adalah melalui
penyelenggaraan kemitraan antara Polri dengan warga masyarakat yang didasari
prinsip kesetaraan guna membangun kepercayaan warga masyarakat terhadap Polri
sehingga terwujud kebersamaan dalam rangka memahami masalah kamtibmas dan
masalah sosial, menganalisis masalah, mengusulkan alternatif-alternatifsolusi
yang tepat dalam rangka menciptakan rasa aman , tentram dan keterlibatan (tidak
hanya berdasarkan pada hukum pidana dan penangkapan), malakukan evaluasi serta
evaluasi ulang terhadap aktifitas solusi yang dipilih.
7. Tujuan
Polmas.
Tujuan Polmas adalah terwujudnya kemitraan polisi dan
masyarakat yang didasari kesadaran bersama dalam menanggulangi permasalahan
yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat guna menciptakan rasa
aman, tertib dan tentram serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
·Upaya menanggulangi permasalahan yang dapat mengganggu
keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat
yang mencakup rangkaian upaya pencegahan dengan melakukan identifikasi
akar permasalahan, menganalisis, menetapkan perioritas tindakan , melakukan
evaluasi dan evaluasi ulang atas efektifitas tindakan.
·
Kemitraan polisi dan masyarakat meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup
keseluruhan proses managemen, mulai dari perencanaan, pengawasan, pengendalian,
analisa dan evaluasi atas pelaksanaannya. Kemitraan tersebut merupakan proses
yang berkelanjutan.
·Dalam ranhgka mewujudkan masyarakat yang aman, tertib dan
tentram, warga masyarakat diberdayakan untuk ikut aktif menemukan,
mengidentifikasi, menganalisis dan mencari jalan keluar bagi masalah-masalah
yang mengganggu keamanan, ketertiban dan masalah sodial lainnya. Masalah
yang dapat diatasi oleh masyarakat terbatas pada masalah yang ringan, tidak
termasuk pelanggaran hukum yang serius.
8. Prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan
Polmas
Prinsip-prinsip Polmas.
Polmas memiliki
komponen-komponen atau prinsip-prinsip tertentu yang terjadi berulang-ulang.
Polmas adalah satu filosofi dan strategi oprasional yang memiliki
prinsip-prinsip yang akan diuraikan dalam bagian ini.
Didalam Perkap No. 7
tahun 2008 pasal 6 prinsip-prinsip penyelenggaraan polmas meliputi :
a
Komunikasi intensi : praktek pemolisian yang
menekankan kesepakatan dengan warga, bukan pemaksaan berarti bahwa polri
menjalin komunikasi intensif dengan masyarakat melalui tatap muka,
pertemuan-pertemuan, forum-forum komunikasi, diskusi dan sebaginya dikalangan
masyarakat dalam rangka membahas masalah keamanan.
b.
Kesetaraan : asas kesejajaran keduaukan antara warga
masyarakat/ komunitas dan petugas kepolisian yang saling menghormati martabat,
hak dan kewajiban, menghargai perbedaan pendapat, asas kesetaraan juga
mensyaratkan upaya memberi layanan kepada semua kelompok masyarakaty, dengan
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan, anak, lasia, serta
kelompok-kelompok restan lainnya.
c. Kemitraan : Polri membangun interaksi dengan masyarakat
berdasarkan kesetaraan/kesejajaran, sikap saling mempercayai dan menghormati
dalam upaya pencegahan kejahatan, pemecahan masalah keamanan dalam
komunitas/masyarakat, serta peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
d. Transparansi : asas keterbukaan polisi terhadap warga
masyarakat/komunitas serta pihak-pihak lain yang terkait dengan upaya menjamin
rasa aman, tertib dan tentram, agar dapat bersama-sama memahami permasalahan ,
tidak saling curiga dan dapat menumbuhkan kepercayaan satu sama lain.
e. Akuntabilitas : penerapan asas pertanggung
jawaban polri yang jelas, sehingga setiap tindakannya dapat dipertanggung
jawabkan sesuai prosedur dan hukum yang berlaku dengan tolok ukur yang jelas,
seimbang dan obyektif.
f.
Partisipasi : kesadaran polisi dan masyarakat untuk secara
aktifikut dalam berbagaikegiatan komunitas/masyarakat untuk mendorong
keterlibatan warga dalam upaya memelihara rasa aman dan tertib, memberi
informasi saran dan masukan, serta aktif dalam proses pengambilan keputusan
guna memecahkan masalah kamtibmas , sambil menghindari kecenderungan main hakim
sendiri.
g. Personalisasi : pendewkatan polri yang lebih mengutamakan
hubungan pribadi langsung dari pada hubungan formal/birokrasi yang umumnya
lebih kaku, demi menciptakan tata hubungan yang erat dengan warga masyarakat /
komunitas.
h.
Desentralisasi : penerapan polmas mensaratkan
adanya desentralisasi kewenagan kepada anggota polisi di tingkat lokal untuk
menegakkan hukum dan memecahkan masalah.
i. Otonomisasi : pemberian kewenagnan atau keleluasaan kepada
kesatuan wilayah untuk mengelola polmas di wilayahnya.
j. Proaktif : segala bentuk kegiatan pemberian layanan polisi kepada
masyarakat atas inisiatif polisi dengan atau tanpa adanya laporan / permintaan
bantuan dari masyarakat berkaitan penyelenggaraaan keamanan , ketertiban dan
penegakan hukum.
k. Orientasi pada pemecahan masalah : polisi bersama-sama dengan
warga masyarakat/komunitas melakukan identifikasi dan menganalisa masalah,
menetapkan perioritas dan respon terhadap sumber/akar masalah.
l.
Orientasi pada pelayanan : bahwa pelaksanaan tugas polmas
lebih mengutamakan pelayanan polisi kepada masyarakat berdasarkan pemahaman
bahwa pelayanan adalah hak masyarakat yang harus dilaksanakan oleh anggota
polisi sebagai kewajibannya.